Lompat ke isi

Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Diskriminasi terhadap orang-orang keturunan Tionghoa di Indonesia telah telah dilakukan sejak zaman Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Kekerasan serius terhadap orang Tionghoa telah terjadi secara berkala sejak tahun 1740, ketika tentara VOC membunuh sampai dengan 10.000 orang keturunan Tionghoa selama peristiwa Geger Pacinan. Sejak saat itu, diskriminasi dan kekerasan telah dicatat baik oleh pemerintah asing maupun Indonesia. Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998, ketika ratusan orang Tionghoa tewas dan puluhan lainnya diperkosa selama kerusuhan Mei 1998.

Bentuk[sunting | sunting sumber]

Kekerasan[sunting | sunting sumber]

Kekerasan terhadap Tionghoa-Indonesia umumnya terbatas pada properti, termasuk pabrik dan toko-toko.[1] Namun, pembunuhan dan penyerangan terjadi, termasuk di Batavia pada 1740, Tangerang pada 1946, selama periode setelah Gerakan 30 September, dan selama kerusuhan Mei 1998.[2]

Tionghoa-Indonesia telah menjadi "tipikal kambing hitam" dalam situasi di mana ketidakpuasan yang meluas dan kerusuhan sosial menjadi kekerasan. Pengkambinghitaman telah menjadi lebih jelas selama periode sejak Indonesia merdeka.[3]

Bahasa[sunting | sunting sumber]

Istilah-istilah yang dinilai merendahkan Tionghoa-Indonesia telah memasuki penggunaan umum dalam bahasa Indonesia, baik pada tingkatan regional maupun nasional. Istilah Cina, yang penggunaannya dimandatkan pada tahun 1967 alih-alih istilah Tionghoa yang pada saat itu lebih umum digunakan, dianggap memiliki konotasi negatif yang serupa dengan Inlander bagi Pribumi Indonesia.[4] Istilah Tionghoa mulai digunakan lagi setelah permulaan Reformasi, tetapi pada saat itu Cina sudah tidak dianggap negatif oleh generasi Tionghoa-Indonesia yang lebih muda.[5]

Di berbagai wilayah, berbagai istilah yang digunakan menunjukkan stereotip umum. Contoh berikut adalah dari Surakarta.[6]

Istilah Arti
Porsi Cina Porsi makanan yang terbesar
Mambu Cina Barang-barang yang baru dibeli
Tangisan Cina Tangisan berkabung

Peraturan[sunting | sunting sumber]

Pada akhir pemerintahan Kompeni dan permulaan pemerintahan kolonial metropolitan pada tahun 1815, diperkenalkan peraturan yang secara khusus diberlakukan terhadap orang Tionghoa-Indonesia. Salah satunya adalah peraturan pada tahun 1816 yang mewajibkan etnis Tionghoa untuk membawa kartu pass jalan setiap saat.[7]

Selama rezim Soekarno pada tahun 1958, semua Tionghoa-Indonesia diwajibkan untuk menyatakan niat mereka untuk tetap menjadi warga negara Indonesia[a] dan pada tahun 1959 orang-orang Tionghoa yang bukan warga negara dilarang melakukan perdagangan di luar wilayah perkotaan.[b][8] Diskriminasi ini terus berlanjut pada masa Orde Baru. Tionghoa-Indonesia didesak untuk memilih nama yang terdengar Indonesia,[c][9] dilarang untuk mempraktikkan tradisi mereka secara publik,[d][10] dan diwajibkan untuk mendapatkan bukti kewarganegaraan tambahan.[11] Secara keseluruhan, empat puluh lima peraturan yang diskriminatif secara langsung maupun tidak langsung disahkan selama Orde Baru.[12] Meskipun sebagian besar dari peraturan-peraturan ini dicabut selama kepresidenan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri,[13] kasus-kasus penegakan peraturan tersebut tetap berlanjut.[14]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Kapal jung Tionghoa Sin Tong Heng dan Tek Hwa Seng di Selat Singapura, ca 1936

Berdasarkan artefak-artefak Tiongkok yang ditemukan di Indonesia, Tiongkok diperkirakan telah memiliki hubungan dagang dengan kepulauan Nusantara sejak abad pertama SM.[15] Namun, pergerakan orang dari Tiongkok ke Asia Tenggara Maritim pertama yang tercatat adalah kedatangan pasukan Mongol di bawah Kublai Khan yang berpuncak pada invasi Mongol ke Jawa pada tahun 1293. Pasukan Mongol memperkenalkan teknologi Tiongkok ke Pulau Jawa, khususnya pembuatan kapal dan koin Tiongkok kuno. Intervensi mereka juga mempercepat runtuhnya kerajaan-kerajaan klasik dan menyebabkan bangkitnya kemaharajaan Majapahit.[16]

Kemudian, pedagang Tionghoa Muslim dari pesisir timur Tiongkok tiba di kota-kota pesisir Indonesia dan Malaysia pada awal abad ke-15. Mereka dipimpin oleh marinir Zheng He, yang memimpin beberapa ekspedisi ke Asia tenggara antara tahun 1405 dan 1430.[17] Para pedagang ini menetap di pesisir utara Jawa, tetapi tidak ada dokumentasi lebih lanjut mengenai pemukiman mereka setelah abad ke-16. Para sarjana meyakini bahwa orang-orang Tionghoa Muslim ini diserap ke dalam populasi Muslim mayoritas,[18] hingga tidak ada komunitas Tionghoa tersisa ketika Belanda tiba.[19] Perdagangan dari Tiongkok ditetapkan kebali ketika Tiongkok mengesahkan perdagangan swasta pada tahun 1567 dan mulai memberi izin 50 kapal jung dalam satu tahun. Koloni-koloni Tionghoa yang berbeda muncul di pelabuhan-pelabuhan di seluruh Nusantara, termasuk pelabuhan lada di Banten.[20]

Era kolonial[sunting | sunting sumber]

Rumah-rumah milik etnis Tionghoa dibakar, dan jasad dibuang ke sungai dan kanal

Hingga tahun 1740, telah ada lebih dari 2.500 rumah yang dimiliki orang Tionghoa di dalam tembok kota Batavia, dengan 15,000 individu lainnya tinggal di luar batas kota.[21] Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka untuk membawa surat-surat registrasi, dan mereka yang tidak mematuhinya akan dideportasi ke Tiongkok. Setelah wabah malaria menewaskan ribuan orang pada tahun 1730-an, termasuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Dirk van Cloon, kebijakan deportasi diperketat.[22] Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, wabah tersebut disusul oleh meningkatnya kecurigaan dan kebencian di kalangan pribumi Indonesia dan Belanda terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya terus bertambah dan kekayaannya semakin terlihat.[22] Akibatnya, Komisaris Urusan Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, mendekritkan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa orang-orang Tionghoa yang dianggap mencurigakan akan dideportasi ke Ceylon (Sri Lanka modern) untuk memanen kayu manis.[22] Orang-orang Tionghoa yang kaya diperas oleh pejabat Belanda yang korup yang mengancam mereka dengan deportasi.[22] Terdapat juga rumor-rumor bahwa orang-orang yang dideportasi tidak dibawa ke tujuan mereka, tetapi dilemparkan ke laut setelah tidak terlihat dari Jawa, dan dalam beberapa laporan, mereka tewas ketika saat melakukan kerusuhan di atas kapal.[23]

Saat situasi menjadi semakin tegang, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengadakan rapat pleno darurat dan memperkuat penjagaan. Pada tanggal 7 Oktober 1740, sekelompok yang berisi ratusan Tionghoa-Indonesia menyerang sebuah benteng pertahanan Belanda di Tanah Abang, menewaskan 50 orang. Sebagai tanggapan, pasukan yang terdiri dari 1.800 prajurit Kompeni dipimpin oleh Gustaaf Willem van Imhoff, bersama dengan milisi (Belanda: schutterij) dan wajib militer (Belanda: pennist), datang untuk memadamkan pemberontakan.[24] Keesokan harinya, Belanda menangkis serangan oleh hingga 10.000 etnis Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok-kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok luar kota.[25] 1.789 orang Tionghoa dilaporkan tewas dalam serangan ini.[23] Sementara itu, desas-desus menyebar di antara kelompok etnis lain di Batavia, termasuk budak-budak dari Bali dan pasukan Sulawesi, Bugis, dan Bali, bahwa orang Tionghoa berkomplot untuk membunuh, memperkosa, atau memperbudak mereka.[26] Kelompok-kelompok ini terlebih dahulu membakar rumah-rumah milik etnis Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Belanda kemudian melakukan penyerangan terhadap pemukiman Tionghoa di tempat lain di Batavia, di mana mereka membakar rumah-rumah dan membunuh orang-orang.[25] Selama dua minggu, pasukan membakar rumah-rumah dan toko-toko milik etnis Tionghoa, membunuh etnis Tionghoa dan membuang jasad mereka ke Sungai Ciliwung.[27] Pada akhirnya, diperkirakan 10.000 orang terbunuh dalam pembantaian Batavia tahun 1740, termasuk 500 tahanan dan pasien rumah sakit.[28] Orang-orang Tionghoa-Indonesia yang masih hidup di Batavia dipindahkan ke daerah di luar tembok, di daerah yang sekarang dikenal sebagai Glodok.[29] Ini kemudian diterapkan di kota-kota lain, di mana Pecinan dibangun untuk memisahkan antara orang Tionghoa dengan kelompok etnis lainnya.[30] Peristiwa ini memicu perang dua tahun, di mana tentara Tionghoa dan Jawa bertempur berdampingan.[28]

Ketika VOC dinasionalisasikan pada tanggal 31 Desember 1799, kebebasan yang dimiliki orang Tionghoa di bawah perusahaan tersebut dirampas oleh pemerintah Belanda.[31] Sebuah peraturan tahun 1816 mewajibkan bagi warga pribumi dan orang Tionghoa yang bepergian di dalam wilayah tersebut untuk mendapatkan izin perjalanan. Mereka yang tidak membawa izin berisiko ditangkap oleh petugas keamanan. Gubernur Jenderal juga memberlakukan sebuah resolusi pada tahun 1825 yang melarang "orang Asia asing" dari tinggal dalam lingkungan yang sama dengan pribumi.[7]

Selama Perang Jawa, ribuan Tionghoa-Indonesia dibunuh oleh pasukan Pangeran Diponegoro selama penggerebekan di pantai selatan Jawa. Para penyintas melarikan diri ke pantai utara atau ke pemukiman Belanda untuk mencari perlindungan. Setiono merujuk pada status orang Tionghoa sebagai pemungut pajak dan pemberi pinjaman sebagai penyebabnya, serta keyakinan Diponegoro bahwa orang Tionghoa membawa sial pada kampanyenya.[32]

Pada tahun 1848, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan peraturan yang mengelompokkan seluruh penduduk nusantara ke dalam dua kelompok, berdasarkan apakah mereka memeluk agama Kristen atau tidak. Peraturan ini kemudian di amandemen pada tahun 1855, menggabungkan orang Kristen Pribumi Indonesia, Tionghoa, Arab, dan India dengan non-Kristen. Namun, dalam praktiknya "orang Timur asing", dikenai peraturan yang terpisah.[33]

"Pendirian Sarekat Islam ... menandai titik balik bagi etnis Tionghoa di Indonesia."

 —Jemma Purdey[34]

Pada tahun 1912, pemerintah Belanda telah meninggalkan kebijakan segregasi. Selama periode yang sama, Revolusi Xinhai membangkitkan nasionalisme Tiongkok pada etnis Tionghoa, sedangkan Sarekat Islam berusaha membangkitkan nasionalisme Indonesia pada warga Pribumi Indonesia.[34] Ketegangan antara Sarekat Islam dan etnis Tionghoa berujung pada kerusuhan bermuatan ras di Surakarta (1912), Tangerang (1913), dan Kudus (31 Oktober 1918). Dari semuanya ini, yang terbesar adalah kerusuhan Kudus, di mana sekelompok perusuh membakar dan menjarah empat puluh rumah dan banyak kelenteng. Setidaknya 16 orang tewas dalam kerusuhan-kerusuhan ini.[35]

Pendudukan Jepang dan Revolusi Nasional (1942–1949)[sunting | sunting sumber]

Setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, setidaknya ada 542 etnis Tionghoa dari Jawa dan Madura ditangkap dan ditahan di kamp konsentrasi Cimahi; kelompok ini termasuk pimpinan, pasangan dari orang-orang Eropa, dan orang-orang Tionghoa yang secara hukum dianggap sebagai orang Eropa. Organisasi-organisasi Tionghoa dibubarkan dan dilarang. Tidak lama setelahnya, etnis Tionghoa diwajibkan untuk mendaftarkan diri mereka dan mengikrarkan kesetiaan mereka kepada pasukan Jepang. Meskipun ada upaya Jepang untuk memadamkan pembangkangan,[36] ada beberapa gerakan perlawanan bawah tanah yang dipimpin oleh etnis Tionghoa.[37]

Hal ini disusul oleh Peristiwa Mandor pada bulan Oktober 1943. Lebih dari 1.500 orang ditangkap atau dibunuh oleh pasukan pendudukan Jepang dalam upaya untuk mencegah pemberontakan multi-etnis. Etnis Tionghoa merupakan kelompok terbesar yang menjadi sasaran, dengan 854 orang tewas dalam peristiwa tersebut.[38]

Dari tanggal 30 Mei hingga 4 Juni 1946, serangan dari pejuang kemerdekaan Indonesia membunuh 653 Tionghoa-Indonesia. Sekitar seribu rumah milik orang Tionghoa-Indonesia dibakar; Mely G. Tan mencatat hal ini sebagai kekerasan terburuk yang ditargetkan pada orang Tionghoa-Indonesia selama perang tersebut.[39] Lebih banyak kasus dilaporkan di Karawaci, Bayur, dan Bagansiapiapi.[40]

Ketika Belanda menerapkan perang atrisi dan bumi hangus, mereka memaksa orang Tionghoa di Jawa untuk melarikan diri ke pedalaman dan Belanda menghancurkan semua aset penting termasuk pabrik-pabrik dan properti milik orang Tionghoa. Orang Indonesia setempat ikut serta dalam kekerasan Belanda terhadap orang Tionghoa dengan menjarah properti milik orang Tionghoa dan berusaha menyerang orang Tionghoa. Namun, ketika pasukan Jepang mendarat dan merebut kendali atas Jawa dari Belanda, yang mengejutkan banyak orang, Jepang memaksa pribumi Indonesia untuk berhenti menjarah dan menyerang orang Tionghoa dan memperingatkan orang Indonesia bahwa mereka tidak akan mentoleransi kekerasan anti-Tionghoa di Jawa. Jepang memandang orang Tionghoa di Jawa dan kekuatan ekonomi mereka secara khusus sebagai sesuatu yang penting dan vital bagi upaya perang Jepang, sehingga mereka tidak menyakiti orang Tionghoa di Jawa secara fisik dan tidak ada eksekusi atau penyiksaan terhadap orang Tionghoa yang terjadi, tidak seperti di tempat-tempat lainnya. Tidak ada konfrontasi kekerasan antara Jepang dan Tionghoa di Jawa, tidak seperti di Malaya Britania. Jepang juga mengizinkan orang-orang Tionghoa di Jawa dalam Federasi Asosiasi Diaspora Tionghoa (Hua Chiao Tsung Hui) untuk membentuk Keibotai, korps pertahanan Tionghoa bersenjata mereka sendiri untuk perlindungan dengan instruktur militer Jepang yang melatih mereka cara menembak dan menggunakan tombak. Orang Tionghoa menganggap hal ini penting untuk mempertahankan diri dari orang Indonesia setempat. Mayoritas orang Tionghoa di Jawa tidak tewas dalam perang. Hanya setelah perang berakhir ketika kekuasaan Jepang jatuh dan kemudian penduduk asli Indonesia kembali memulai serangan terhadap orang Tionghoa di Jawa ketika Jepang tidak dapat melindungi mereka.[41]

Demokrasi Terpimpin (1949–1966)[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Soekarno memberlakukan perundang-undangan yang membatasi hak dagang Tionghoa-Indonesia

Pada tahun 1955, Zhou Enlai menyatakan bahwa kewarganegaraan Tiongkok adalah jus sanguinis. Hal ini berujung pada sebuah perjanjian antara Tiongkok dan Indonesia mengenai status hukum dari Tionghoa-Indonesia, yang menjadi dasar bagi Undang-Undang Kewarganegaraan tahun 1958.[42] Undang-undang ini mengharuskan semua orang Tionghoa Indonesia untuk memilih antara kewarganegaraan Tiongkok dan Indonesia, dengan membuat pernyataan di pengadilan negeri terdekat.[43] Sekitar 390.000 etnis Tionghoa menolak kewarganegaraan Tiongkok.[44]

Pada bulan Mei 1959, pemerintahan Soekarno mengesahkan undang-undang yang mencabut hak dagang warga negara asing di daerah pedesaan. Hal ini didasarkan pada dua peraturan sebelumnya yang lebih rendah.[45] Karena ketidakpastian yang berkaitan dengan status hukum etnis Tionghoa, mereka juga diikutsertakan sebagai warga negara asing.[8] Hal ini berujung pada keluarnya antara 102,000[46] dan 136,000 Tionghoa-Indonesia,[47] yang berangkat ke Tiongkok dengan kapal-kapal yang dikirim oleh pemerintah Tiongkok.[48]

Antara tahun 1963 hingga awal 1965, situasi bagi orang Tionghoa-Indonesia secara umum menjadi lebih stabil. Berbagai sekolah berbahasa Tionghoa dibuka dan pers berbahasa Tionghoa berkembang pesat. Namun, masih ada serangan kecil terhadap orang Tionghoa Indonesia di Cirebon, Sukabumi, dan Bandung pada tahun 1963.[49]

Orde Baru (1966–1998)[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Soeharto memaksa orang Tionghoa Indonesia untuk meninggalkan warisan leluhur mereka, terutama dalam hal penamaan dan bahasa

Selama kerusuhan setelah kudeta yang gagal pada tanggal 30 September, orang Tionghoa-Indonesia terkadang menjadi sasaran. Karena sebagian besar kekerasan ditujukan kepada anggota dan rekan Partai Komunis Indonesia, yang hanya sedikit sekali orang Tionghoa yang menjadi anggotanya, maka kemungkinan besar kekerasan tersebut bersifat oportunis, dan bukan karena dicurigai memiliki hubungan dengan PKI. Perkiraan terbaik adalah ribuan orang Tionghoa Indonesia terbunuh (dari total korban tewas sebanyak 500.000 orang), dengan pembantaian yang terdokumentasi terjadi di Makassar dan Medan, serta di Pulau Lombok.[50][51] Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian terburuk di Jawa, penduduk asli Dayak mengusir 45.000 etnis Tionghoa dari daerah pedesaan, menewaskan hingga 5.000 orang.[52] Orang-orang Tionghoa menolak untuk melawan, karena mereka menganggap diri mereka sebagai "tamu di tanah orang lain" dengan tujuan untuk berdagang saja.[53][54]

"Sejarah etnis Tionghoa pada masa rezim Soeharto memang dapat digambarkan sebagai sejarah etnis minoritas yang tidak memiliki pilihan lain selain tunduk pada kebijakan-kebijakan yang diterapkan kepada mereka."

 —Mely G. Tan[55]

Selama periode yang sama, banyak peraturan yang diskriminatif disahkan. Pada bulan April 1966, semua sekolah Tionghoa (pada saat itu berjumlah 629) ditutup.[56] Pada tanggal 8 Mei 1966, Panglima Komando Daerah Militer Aceh Ishak Djuarsa mendeklarasikan bahwa semua etnis Tionghoa harus meninggalkan Aceh sebelum tanggal 17 Agustus 1966; hal ini disusul oleh dekrit serupa oleh pemerintah Sumatera Utara.[57] Pada tahun 1967, penggunaan istilah Cina, yang dianggap merendahkan, menjadi mandat untuk semua komunikasi resmi.[4] Terlebih lagi, untuk memajukan asimilasi dari Tionghoa-Indonesia yang berpengaruh, pemerintahan Soeharto mengesahkan beberapa peraturan sebagai bagian dari "Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina", di mana hanya satu publikasi berbahasa Tionghoa – dikendalikan oleh Angkatan Darat – diperbolehkan untuk terus beroperasi, semua ekspresi kultural dan religius Tionghoa (termasuk menampilkan aksara Tionghoa) dilarang dalam ruang publik, dan etnis Tionghoa dipaksa untuk menggunakan nama yang terdengar Indonesia; menciptakan genosida budaya yang sistematis.

Sebab[sunting | sunting sumber]

Penggunaan Tionghoa-Indonesia sebagai kambing hitam sebagian disebabkan karena kurangnya kekuatan politik dan perlindungan pemerintah.[58] Kebijakan asimilasi Orde Baru juga telah dilihat sebagai faktor. Kebutuhan untuk mengasimilasi etnis Tionhoa "mengindikasikan bahwa elemen-elemen kebudayaan Tionghoa tidak dapat diterima".[59]

Diskriminasi, ketidakpercayaan, dan kekerasan terhadap Tionghoa-Indonesia disebabkan sebagian karena persepsi bahwa mereka masih setia kepada Tiongkok, dan hanya melihat Indonesia sebagai tempat untuk tinggal dan bekerja. Mereka juga dianggap bersikap "eksklusif", tidak mau berbaur dengan kelompok etnis lainnya, serta mendiskriminasi terhadap pribumi Indonesia dalam hubungan dagang mereka.[60] Tionghoa-Indonesia yang agama dominannya adalah Kekristenan juga mengalami Kristofobia dan persekusi.[61]

Akibat[sunting | sunting sumber]

Selama Orde Lama dan Orde Baru, Tionghoa-Indonesia pada umumnya memenuhi pembatasan hukum sebaik yang mereka bisa. Namun, kerusuhan Mei 1998 menyebabkan perubahan dalam sikap, termasuk kegiatan politik yang lebih besar dan ketegasan.[62] Selain itu, diskriminasi menyebabkan krisis identitas etnis, dengan Tionghoa-Indonesia yang memiliki ikatan yang kuat dengan Tiongkok merasa tidak diterima oleh rakyat Indonesia, dan mereka dengan ikatan yang kuat Indonesia menginginkan persamaan hak.[63]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Catatan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 1958.
  2. ^ Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1959, yang mewajibkan semua usaha milik warga negara asing bertempat di wilayah perkotaan. Karena ketidakpastian mengenai status Tionghoa-Indonesia, mereka dimasukkan sebagai warga negara asing juga. Lihat Setiono 2008, hlm. 811–815.
  3. ^ Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966.
  4. ^ Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967.

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki

  1. ^ Tan 2008, hlm. 241.
  2. ^ Tan 2008, hlm. 239–248.
  3. ^ Tan 2008, hlm. 239.
  4. ^ a b Setiono 2008, hlm. 986–987.
  5. ^ Tan 2008, hlm. 2.
  6. ^ Kinasih 2007, hlm. 111.
  7. ^ a b Phoa 1992, hlm. 12.
  8. ^ a b Setiono 2008, hlm. 811–815.
  9. ^ Setiono 2008, hlm. 987.
  10. ^ Tan 2008, hlm. 230.
  11. ^ Setiono 2008, hlm. 1028.
  12. ^ Tan 2008, hlm. 247.
  13. ^ Setiono 2008, hlm. 1090–1091.
  14. ^ Purdey 2006, hlm. 179.
  15. ^ Setiono 2008, hlm. 20.
  16. ^ Reid 2001, hlm. 17.
  17. ^ Ma 2005, hlm. 115.
  18. ^ Tan 2005, hlm. 795.
  19. ^ Reid 2001, hlm. 33.
  20. ^ Reid 1999, hlm. 52.
  21. ^ Setiono 2008, hlm. 109.
  22. ^ a b c d Setiono 2008, hlm. 111–113.
  23. ^ a b Raffles, Thomas Stamford (1830) [1817]. The History of Java. 2. London: Black. OCLC 312809187. 
  24. ^ Setiono 2008, hlm. 113.
  25. ^ a b Setiono 2008, hlm. 114.
  26. ^ Setiono 2008, hlm. 114–116.
  27. ^ Setiono 2008, hlm. 117–118.
  28. ^ a b Setiono 2008, hlm. 119.
  29. ^ Setiono 2008, hlm. 121.
  30. ^ Tan 2008, hlm. 14.
  31. ^ Phoa 1992, hlm. 11.
  32. ^ Setiono 2008, hlm. 173–181.
  33. ^ Tan 2008, hlm. 15.
  34. ^ a b Purdey 2006, hlm. 6.
  35. ^ Setiono 2008, hlm. 383–387.
  36. ^ Setiono 2008, hlm. 530–531.
  37. ^ Setiono 2008, hlm. 534–535.
  38. ^ Purdey 2006, hlm. 7.
  39. ^ Tan 2005, hlm. 792.
  40. ^ Setiono 2008, hlm. 586–592.
  41. ^ Touwen-Bouwsma, Elly   (2013). "Four : Japanese Policy towards the Chinese on Java, 1942-1945: A Preliminary Outline". Dalam Kratoska, Paul H. Southeast Asian Minorities in the Wartime Japanese Empire. Routledge. hlm. 57–61. ISBN 978-1136125065. 
  42. ^ Effendi & Prasetyadji 2008, hlm. 14–15.
  43. ^ Setiono 2008, hlm. 751.
  44. ^ Purdey 2006, hlm. 9.
  45. ^ Purdey 2006, hlm. 11.
  46. ^ Purdey 2006, hlm. 12.
  47. ^ Setiono 2008, hlm. 815.
  48. ^ Tan 2008, hlm. 28.
  49. ^ Purdey 2006, hlm. 13.
  50. ^ Tan 2008, hlm. 240–242.
  51. ^ Cribb & Coppel 2009.
  52. ^ Schwarz (1994), p. 21.
  53. ^ John Braithwaite (2010). Anomie and violence: non-truth and reconciliation in Indonesian peacebuilding. ANU E Press. hlm. 294. ISBN 978-1-921666-22-3. In 1967, Dayaks had expelled Chinese from the interior of West Kalimantan. In this Chinese ethnic cleansing, Dayaks were coopted by the military who wanted to remove Chinese from the interior who they believed were supporting communists. The most certain way to accomplish this was to drive all Chinese out of the interior of West Kalimantan. An estimated 2,000–5,000 people were massacred (Davidson 2002:158) and probably a greater number died from the conditions in overcrowded refugee camps, including 1,500 Chinese children aged between one and eight who died of starvation in Pontianak camps (p. 173). The Chinese retreated to major towns. The Chinese in West Kalimantan rarely resisted (though they had in nineteenth century conflict with the Dutch and in 1914). Instead, they fled. One old Chinese man who fled to Pontianak in 1967 said that the Chinese did not even consider or discuss striking back at Dayaks as an option. This was because they were imbued with a philosophy of being a guest on other people's land to become a great trading diaspora. 
  54. ^ Eva-Lotta E. Hedman (2008). Eva-Lotta E. Hedman, ed. Conflict, violence, and displacement in indonesia. SOSEA-45 Series (edisi ke-illustrated). SEAP Publications. hlm. 63. ISBN 978-0-87727-745-3. 
  55. ^ Tan 2008, hlm. 243.
  56. ^ Setiono 2008, hlm. 979.
  57. ^ Setiono 2008, hlm. 981–982.
  58. ^ Setiono 2008, hlm. 977.
  59. ^ Tan 2008, hlm. 24.
  60. ^ Tan 2008, hlm. 217.
  61. ^ "Indonesia - Open Doors USA - Open Doors USA". www.opendoorsusa.org. Diakses tanggal 2020-09-04. 
  62. ^ Tan 2008, hlm. 218.
  63. ^ Tan 2008, hlm. 29.

Bibliografi

Sumber daring

  • "Ethnic Chinese tell of mass rapes". BBC. 23 June 1998. Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • Daihani, Dadan Umar; Purnomo, Agus Budi (2001). "The May 1998 Riot in Jakarta, Indonesia, Analyzed with GIS". Diakses tanggal 15 May 2009. 
  • "Kota Solo Penuh Asap". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 15 May 1998. hlm. 11. 
  • "Amuk Massa Landa Boyolali". Kompas (dalam bahasa Indonesian). Jakarta. 16 May 1998. hlm. 7. 
  • Wijayanta, Hanibal W.Y. (1 June 1998). "Percik Bara Seantero Nusantara" (dalam bahasa Indonesian). Jakarta: Forum Keadilan: 18–22.